Tragedi Westerling merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada masa agresi Belanda pasca-Proklamasi 1945, ketika militer Belanda melakukan operasi pembersihan brutal di Sulawesi Selatan yang menewaskan ribuan warga sipil. Operasi tersebut dipimpin oleh Raymond Pierre Westerling, seorang perwira Belanda keturunan Turki-Armenia, yang dikenal dengan pendekatan kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Latar Belakang
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda berupaya mengembalikan kekuasaannya melalui kekuatan militer. Salah satu wilayah yang menjadi target adalah Sulawesi Selatan, yang saat itu sedang bergolak oleh perlawanan rakyat terhadap upaya penjajahan kembali.
Belanda menghadapi perlawanan dari para pejuang kemerdekaan yang melakukan serangan gerilya terhadap pasukan Belanda dan pasukan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Untuk menumpas perlawanan ini, Belanda mengirim satuan khusus yang dikenal sebagai Depot Speciale Troepen (DST), dipimpin oleh Westerling.
Operasi Penumpasan dan Teror Westerling
Operasi berlangsung antara Desember 1946 hingga Februari 1947, dengan dalih “menjaga keamanan” dan menghentikan pemberontakan. Namun, yang terjadi di lapangan adalah teror sistematis terhadap penduduk sipil.
Westerling menerapkan metode yang disebut “metode Westerling”, yaitu:
- Mengumpulkan seluruh penduduk desa.
- Menginterogasi dan menyiksa mereka di tempat.
- Menembak mati siapa pun yang dicurigai membantu para pejuang, tanpa proses hukum.
- Mayat korban dibiarkan bergelimpangan sebagai bentuk teror psikologis.
- Beberapa kampung dibakar atau dihancurkan.
Korban berasal dari berbagai kalangan: petani, pemuda, tokoh adat, bahkan perempuan dan anak-anak. Dalam waktu singkat, puluhan desa mengalami pembantaian massal.
Jumlah Korban
Jumlah korban tragedi Westerling masih menjadi perdebatan, namun berbagai sumber menyebut angka yang sangat tinggi:
- Menurut versi pemerintah Indonesia: sekitar 40.000 orang tewas.
- Versi Belanda (resmi): sekitar 3.000–5.000 orang.
- Penelitian independen menyebutkan kisaran 10.000–15.000 orang.
Meski angka pastinya sulit dipastikan, tragedi ini dianggap sebagai salah satu kejahatan perang terbesar Belanda selama agresi militer di Indonesia.
Reaksi dan Kontroversi
Setelah berita kekejaman Westerling menyebar, muncul tekanan dari dalam negeri Belanda dan komunitas internasional. Namun, alih-alih dihukum, Westerling justru dilindungi dan dipulangkan ke Belanda. Ia tidak pernah diadili atas tindakannya di Sulawesi Selatan.
Tragedi ini menjadi salah satu noda besar dalam sejarah kolonial Belanda, namun baru mendapat perhatian luas pada abad ke-21. Pemerintah Belanda selama puluhan tahun enggan mengakui peran negaranya dalam kejahatan tersebut.
Pengakuan dan Permintaan Maaf
Baru pada tahun 2020, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf resmi atas kekerasan ekstrem yang dilakukan selama masa dekolonisasi Indonesia. Namun, kasus Westerling secara khusus masih menjadi tuntutan hukum dan moral oleh para korban dan keluarga mereka.
Tragedi Westerling bukan sekadar operasi militer, tapi adalah pembantaian massal yang mencederai nilai kemanusiaan. Tindakan brutal tanpa proses hukum ini mencerminkan wajah kolonialisme yang sesungguhnya: kejam, rasis, dan penuh kekerasan.
Peristiwa ini harus terus dikenang bukan untuk membenci, tetapi sebagai pengingat sejarah, agar tragedi serupa tak pernah terulang kembali dalam bentuk apa pun.
“Sejarah tak boleh dikubur. Kebenaran harus tetap diungkap, demi keadilan para korban.”
Fakta Singkat:
- Nama peristiwa: Tragedi Westerling / Pembantaian Sulawesi Selatan
- Pelaku utama: Raymond Westerling & Depot Speciale Troepen (DST)
- Waktu kejadian: Desember 1946 – Februari 1947
- Lokasi: Sulawesi Selatan
- Korban jiwa: 3.000–40.000 orang (bervariasi menurut sumber)
- Motif: Penumpasan gerilyawan pro-kemerdekaan
- Status hukum: Tidak pernah diadili secara resmi
Google www.tahukahkamu.wiki dan Channel Telegram
0 Komentar