Jakarta – Tragedi kemanusiaan yang terjadi antara tahun 1965 hingga 1966 menjadi salah satu noda sejarah paling gelap dalam perjalanan bangsa Indonesia. Lebih dari 500.000 hingga 1 juta orang kehilangan nyawa akibat tuduhan terlibat atau berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peristiwa ini bermula pasca kegagalan Gerakan 30 September (G30S), yang kemudian dimanfaatkan oleh militer dan kelompok anti-komunis untuk melakukan pembersihan besar-besaran. Pembunuhan, penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan, dan pengasingan terjadi secara sistematis di berbagai daerah: Jawa, Sumatera, Bali, hingga Sulawesi.
Tak hanya para terduga anggota PKI, namun juga rakyat biasa, petani, guru, hingga aktivis ikut menjadi korban. Bahkan hingga kini, banyak keluarga korban masih hidup dalam stigma dan diskriminasi sosial.
Setelah reformasi, berbagai upaya pengungkapan fakta mulai dilakukan. Komnas HAM menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat, namun belum ada penyelesaian hukum tuntas.
Masyarakat sipil, sejarawan, dan para penyintas terus mendorong agar negara membuka arsip, meminta maaf secara resmi, dan mengembalikan hak-hak korban serta keluarga mereka.
🕯️ “Mengakui luka sejarah bukan untuk membuka aib, melainkan sebagai tanda bangsa yang matang dan berani menatap masa depan dengan jujur.”
Tragedi pembantaian 1965–1966 merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia. Ratusan ribu hingga lebih dari satu juta orang dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dibunuh tanpa proses hukum yang adil. Peristiwa ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam dalam kehidupan sosial, politik, dan kemanusiaan bangsa Indonesia.
Latar Belakang
Awal mula tragedi ini berkaitan erat dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, di mana enam jenderal TNI dibunuh dalam suatu operasi misterius yang oleh rezim Orde Baru dikaitkan dengan PKI. Pemerintah saat itu menyatakan bahwa G30S adalah upaya kudeta oleh komunis. Narasi ini dimanfaatkan oleh militer dan kelompok anti-komunis untuk melakukan pembalasan secara masif.
Rentetan Kekerasan
Setelah kegagalan G30S, kampanye anti-komunis meluas ke berbagai penjuru Indonesia. Dalam waktu yang relatif singkat, terjadi aksi pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan penahanan tanpa pengadilan terhadap orang-orang yang diduga simpatisan PKI, termasuk aktivis, guru, petani, buruh, dan bahkan masyarakat biasa.
Pembantaian dilakukan secara sistematis dan melibatkan unsur militer, organisasi keagamaan, dan sipil. Di banyak daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera, dan Sulawesi, kekerasan terjadi secara brutal, kadang disertai dengan penghancuran properti dan pemaksaan pengakuan.
Korban dan Dampak
Jumlah korban tewas masih menjadi perdebatan. Berbagai sumber menyebutkan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang tewas. Ribuan lainnya ditahan bertahun-tahun tanpa proses hukum, diasingkan ke pulau-pulau terpencil seperti Buru, dan dijauhi secara sosial.
Dampak tragedi ini sangat luas:
- Stigma sosial terhadap keluarga korban yang berlangsung hingga kini
- Ketakutan politik, yang membungkam demokrasi dan kebebasan berpikir
- Perubahan kekuasaan, dari Presiden Sukarno ke Soeharto dan munculnya rezim Orde Baru
- Rekayasa sejarah, di mana narasi tunggal versi negara didiktekan melalui media dan pendidikan
Upaya Pengungkapan dan Keadilan
Setelah reformasi 1998, mulai muncul upaya untuk membuka kembali lembaran sejarah ini. Komnas HAM pada 2012 menyatakan bahwa peristiwa 1965–1966 merupakan pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini, belum ada proses hukum formal atau pengadilan HAM yang dilaksanakan.
Film dokumenter seperti "The Act of Killing" dan "The Look of Silence" karya Joshua Oppenheimer turut membuka mata dunia terhadap peristiwa ini. Tapi di dalam negeri, pembicaraan soal 1965 masih dianggap tabu oleh sebagian kalangan.
Tragedi 1965–1966 adalah luka sejarah yang belum sembuh. Mengungkap kebenaran, memberikan pengakuan kepada para korban, dan menciptakan ruang dialog yang jujur adalah langkah penting untuk membangun masa depan yang lebih adil dan manusiawi. Sejarah tak boleh dilupakan, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghadapi masa lalunya — seberat apa pun itu.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun
Google www.tahukahkamu.wiki dan Channel Telegram
0 Komentar