Tragedi Semanggi I dan II adalah dua peristiwa penembakan terhadap mahasiswa dan warga sipil yang terjadi di kawasan Semanggi, Jakarta, saat gelombang reformasi belum usai. Peristiwa ini menjadi simbol perjuangan rakyat, terutama mahasiswa, dalam menolak dominasi militer dalam politik pasca-Orde Baru. Namun perjuangan itu dibayar mahal—dengan darah dan nyawa.
LATAR BELAKANG: BAYANG-BAYANG ORDE BARU
Setelah jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi demokrasi. Presiden B.J. Habibie menggantikan posisi tersebut dan menjanjikan perubahan. Namun, bayang-bayang Orde Baru masih tebal, terutama dalam peran militer (ABRI/TNI-Polri) yang belum sepenuhnya kembali ke barak.
Mahasiswa dan masyarakat mendesak penghapusan dwifungsi ABRI, penolakan terhadap undang-undang darurat yang melegitimasi kekuatan militer, serta tuntutan pemilu yang jujur dan adil.
TRAGEDI SEMANGGI I – 13 November 1998
Kronologi Singkat
- Ribuan mahasiswa menggelar aksi damai menolak rencana Sidang Istimewa MPR yang dianggap melanggengkan kekuasaan warisan Orde Baru.
- Mereka menolak peran militer dalam pengamanan sidang serta keberadaan Dwi Fungsi ABRI.
- Saat massa mencoba mendekati Gedung DPR/MPR, aparat keamanan membubarkan paksa dengan tembakan langsung dan gas air mata.
Korban
- 17 orang tewas, termasuk mahasiswa Universitas Indonesia, Elang Mulia Lesmana.
- Puluhan lainnya luka-luka akibat tembakan dan bentrokan.
- Insiden ini menciptakan trauma mendalam bagi mahasiswa, pers, dan masyarakat luas.
TRAGEDI SEMANGGI II – 24 September 1999
Kronologi Singkat
- Unjuk rasa menolak RUU Pertahanan dan Keamanan Nasional yang dinilai bisa memberi wewenang luas bagi militer dalam urusan sipil.
- Mahasiswa kembali turun ke jalan, kali ini menghadapi pengamanan ketat saat Sidang DPR membahas RUU tersebut.
- Aparat kembali menggunakan peluru tajam untuk membubarkan aksi damai.
Korban
- 1 mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap, tewas tertembak di dekat kampus Atmajaya.
- Puluhan lainnya luka-luka.
REAKSI PUBLIK DAN PENCARIAN KEADILAN
Peristiwa Semanggi langsung mendapat sorotan nasional dan internasional:
- Komnas HAM menyelidiki peristiwa ini dan menyatakan bahwa ada pelanggaran HAM berat.
- Mahasiswa menuntut pengadilan militer dan pertanggungjawaban pejabat negara, termasuk Jenderal Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI.
- Namun, hingga hari ini, tidak ada satupun pelaku yang dijatuhi hukuman setimpal. DPR bahkan pernah menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi ini—keputusan yang menuai kritik luas.
MAKNA SEJARAH DAN KENANGAN
Tragedi Semanggi menjadi simbol:
- Bahwa demokrasi di Indonesia dibayar dengan darah para mahasiswa dan rakyat sipil.
- Bahwa perjuangan melawan kekuasaan yang represif adalah jalan panjang yang penuh luka.
- Bahwa impunitas aparat masih menjadi masalah serius dalam sistem hukum Indonesia.
Setiap tahun, mahasiswa dan keluarga korban memperingati tragedi ini, menuntut keadilan yang belum juga datang.
PENUTUP: JANGAN LUPA, JANGAN DIAM
Tragedi Semanggi I dan II bukan sekadar sejarah kelam, melainkan panggilan agar kita tidak tinggal diam saat kebebasan dan keadilan diinjak. Suara Elang dan Yap masih bergema di lorong-lorong kampus dan jalanan, mengingatkan kita: reformasi belum selesai.
"Jangan padamkan api yang dulu kami nyalakan dengan nyawa."
—Mahasiswa, 1999
Google www.tahukahkamu.wiki dan Channel Telegram
0 Komentar