Tanah Papua, yang kaya sumber daya alam dan budaya, telah lama menjadi pusat ketegangan antara rakyat setempat dan pemerintah pusat. Di balik kekayaan alamnya, Papua menyimpan luka sejarah yang belum sembuh. Dua tragedi besar yang terjadi pada awal 2000-an—Tragedi Wamena 2000 dan Tragedi Abepura 2000—adalah contoh nyata dari kekerasan negara terhadap warganya. Keduanya menjadi simbol pelanggaran hak asasi manusia yang belum mendapatkan keadilan hingga kini.
Tragedi Abepura – 7 Desember 2000
Latar Belakang
Pada malam 6 Desember 2000, terjadi penyerangan terhadap pos polisi di Abepura oleh sekelompok orang tak dikenal yang mengakibatkan kematian seorang polisi dan seorang Satpol PP. Penyerangan ini kemudian memicu operasi balasan besar-besaran oleh aparat Brimob dan TNI.
Kronologi Peristiwa
- Pada dini hari 7 Desember, aparat keamanan melakukan penyisiran dan penangkapan massal terhadap mahasiswa Papua dan warga sipil di sekitar Abepura, Sentani, dan kampus Universitas Cenderawasih.
- Sebanyak lebih dari 100 orang ditangkap dan disiksa, bahkan ada yang ditahan tanpa proses hukum jelas.
- Banyak korban mengalami penyiksaan berat—dipukul, ditelanjangi, disundut rokok, hingga dianiaya di pos-pos militer.
Korban
- 4 orang meninggal dunia, termasuk mahasiswa.
- Puluhan lainnya luka berat dan trauma psikis.
Upaya Hukum
- Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa Abepura termasuk pelanggaran HAM berat.
- Kasus ini menjadi satu-satunya pelanggaran HAM berat di Papua yang sempat dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar (2005).
- Namun, dua terdakwa dari kepolisian (termasuk mantan Kapolres Jayapura) dibebaskan, dan tidak ada satupun pelaku yang dihukum.
Tragedi Wamena – 6 Oktober 2000
Latar Belakang
Tragedi ini bermula dari aksi pencurian senjata oleh kelompok pro-kemerdekaan Papua dari sebuah markas TNI di Wamena pada 4 April 2003 (catatan sejarah kadang keliru menyebut 2000; peristiwa pencurian terjadi 2003, tetapi operasi keamanan besar pertama dimulai pada 2000).
Kronologi Penindakan
- Aparat gabungan TNI dan Polri melakukan operasi penyisiran brutal terhadap masyarakat sipil di berbagai kampung sekitar Wamena.
- Warga sipil dipaksa mengungsi, desa-desa dibakar, ternak dirampas, dan rumah dihancurkan.
- Beberapa kampung menjadi kawasan kosong akibat pengungsian massal.
Korban
- 9 orang meninggal dunia, termasuk anak-anak.
- 38 luka-luka akibat penyiksaan, tembakan, dan pemukulan.
- Yayasan kemanusiaan Elsham Papua melaporkan bahwa ribuan orang mengalami kelaparan dan trauma pasca-operasi.
REAKSI DAN PENGAKUAN
Laporan HAM
- Komnas HAM menyelidiki kedua tragedi tersebut dan menggolongkannya sebagai pelanggaran HAM berat.
- Organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menyoroti penggunaan kekerasan berlebihan dan impunitas aparat di Papua.
- Namun hingga kini, tidak ada pengadilan yang memvonis pelaku, dan korban maupun keluarganya tidak mendapatkan kompensasi maupun keadilan.
MAKNA TRAGEDI INI BAGI PAPUA DAN INDONESIA
Tragedi Abepura dan Wamena menunjukkan bahwa:
- Negara belum sepenuhnya melindungi hak warga Papua.
- Kekerasan masih sering dijadikan solusi dalam konflik, bukan dialog.
- Impunitas terhadap aparat menjadi masalah sistemik.
- Rasa ketidakadilan mendalam masih hidup di antara rakyat Papua hingga hari ini.
PENUTUP: KITA BELUM SELESAI
Dua dekade telah berlalu, namun luka Papua masih menganga. Masyarakat Papua tak hanya menuntut keadilan, tapi juga pengakuan atas derita mereka. Tragedi Abepura dan Wamena harus diingat bukan untuk membuka luka lama, tapi agar negara belajar dari sejarah, dan memastikan tragedi serupa tidak pernah terulang.
"Jangan bicara damai jika luka masih diabaikan. Jangan bicara persatuan jika keadilan masih dibungkam."
Google www.tahukahkamu.wiki dan Channel Telegram
0 Komentar