Di balik kibaran bendera yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan dan persatuan, terdapat luka yang terus menganga di dalam tubuh negaraku. Luka itu bernama korupsi – penyakit yang telah menjangkiti hampir seluruh organ pemerintahan, dari pusat hingga ke akar daerah. Di negeri ini, korupsi bukan lagi peristiwa yang mengejutkan. Ia sudah menjadi bagian dari budaya kekuasaan. Bahkan lebih ironis, ia menjadi sistem yang menghidupi sebagian besar elit yang semestinya melayani rakyat.
Wajah Pemerintahan yang Bobrok
Setiap pemilu datang dengan janji-janji perubahan, namun setelah duduk di singgasana kekuasaan, kebanyakan pemimpin malah menjadi bagian dari lingkaran setan yang sama. Proyek-proyek pembangunan menjadi ladang bancakan. Anggaran negara dijadikan ajang rebutan. Bukan rahasia lagi jika banyak pejabat yang hidup mewah jauh dari pendapatan sahnya.
Lembaga-lembaga negara yang seharusnya mengawal kepentingan rakyat justru berubah menjadi alat politik, bahkan menjadi sarang praktik kotor. Transaksi jabatan, penggelapan dana publik, dan suap dalam berbagai bentuk telah mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Ketika Hukum Tidak Lagi Berpihak pada Kebenaran
Ironisnya, di tengah badai korupsi yang merajalela, penegakan hukum justru mati suri. Para penegak hukum, dari kepolisian, jaksa, hingga pengadilan, sering kali menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Hukum tidak lagi menjadi pedoman keadilan, tapi alat untuk menindas yang lemah dan melindungi yang kuat.
Di ruang sidang, kasus-kasus besar bisa hilang tak berbekas. Tersangka kelas kakap bisa bebas melenggang hanya karena "kurangnya bukti". Sementara rakyat kecil yang mencuri demi makan dihukum berat tanpa ampun. Di negeriku, hukum ibarat pedang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Rakyat yang Lelah dan Apatis
Lambat laun, rakyat pun mulai lelah. Demonstrasi tak lagi didengar. Suara kritis dibungkam. Media yang mencoba bicara jujur ditekan. Maka muncul sikap apatis: “semuanya sudah busuk,” kata orang-orang. Generasi muda tumbuh dalam lingkungan penuh sinisme. Mereka menyaksikan bahwa kejujuran tidak menjamin kemajuan, dan integritas sering kali justru membahayakan.
Kepercayaan terhadap negara perlahan runtuh. Rakyat tak lagi berharap banyak dari mereka yang berkuasa. Banyak yang memilih bertahan dengan caranya sendiri, membangun kehidupan tanpa peduli pada apa yang terjadi di atas sana.
Harapan di Tengah Kegelapan
Namun, meskipun negeri ini tengah terbenam dalam lumpur korupsi dan ketidakadilan, harapan itu belum sepenuhnya padam. Masih ada segelintir orang jujur – aktivis, jurnalis, dosen, siswa, petani, dan pekerja – yang terus bersuara. Mereka menyalakan lilin kecil dalam gelap, meski kadang diterpa angin kencang. Mereka adalah pengingat bahwa negeri ini belum sepenuhnya mati.
Perubahan memang tidak datang dari mereka yang sudah nyaman di kursi kekuasaan. Perubahan sejati lahir dari kegelisahan rakyat, dari suara-suara kecil yang menolak diam, dari keberanian untuk melawan sistem yang busuk, sekecil apapun upayanya.
Negaraku mungkin sedang sakit, tapi ia belum mati. Jika suara kejujuran masih bergema, jika tangan-tangan kecil masih mau bergerak, maka masih ada harapan untuk esok yang lebih adil dan bersih.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun
Google www.tahukahkamu.wiki dan Channel Telegram
0 Komentar