Negeri Kaya Rakyat Sengsara: Ketika Pemimpin Tak Tegas dan Korupsi Jadi Budaya

 

Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, dengan kekayaan alam melimpah dan sumber daya manusia berlimpah, ironi justru tumbuh subur: rakyat kecil terus tercekik oleh harga kebutuhan pokok, sementara pejabat hidup mewah dengan mobil dinas, rumah dinas, dan fasilitas-fasilitas kelas atas—semua dari uang rakyat.

Kita tak lagi asing mendengar istilah “korupsi berjamaah”, tapi yang lebih menyakitkan adalah bagaimana pemimpin yang dipilih rakyat justru tak punya nyali untuk menindak tegas para pelaku. Bahkan lebih parah, banyak yang justru ikut main dalam sistem kotor itu.


Korupsi Bukan Lagi Kasus, Tapi Budaya

Korupsi di Indonesia bukan lagi soal satu-dua oknum. Ini sudah seperti budaya yang mendarah daging, dari level pusat sampai daerah. Mulai dari mark-up anggaran proyek, suap jabatan, manipulasi bansos, sampai penyalahgunaan dana publik—semuanya terus berulang, dengan pola yang nyaris sama, dan hukuman yang sering kali terlalu ringan.

Di sisi lain, pemimpin negeri ini kerap tampil dengan slogan-slogan manis. “Bersih dari korupsi”, “revolusi mental”, “berdikari di bidang ekonomi”—tapi semua itu hanya jadi iklan politik yang hilang seiring selesainya masa kampanye. Begitu duduk di kursi kekuasaan, kepentingan rakyat pelan-pelan tergeser oleh kepentingan kroni.


Ketegasan Hanya Untuk Rakyat Kecil

Ironinya, ketika rakyat kecil berteriak karena kelaparan, kena PHK, atau sekadar menolak proyek tambang yang merusak alam tempat mereka hidup, negara justru hadir dengan ketegasan luar biasa: gas air mata, penggusuran, kriminalisasi. Tapi saat ada pejabat mencuri ratusan miliar? Yang muncul adalah drama: “kami hormati proses hukum”, “beliau masih keluarga besar kami”, atau “jangan dulu berprasangka buruk”.

Kita hidup di negeri di mana orang miskin dicurigai, dan orang kaya dimuliakan, tak peduli sumber hartanya dari mana.


Rakyat Kecil: Korban Sistem yang Bobrok

Harga beras naik, listrik naik, BBM naik—semuanya terus membebani rakyat kecil. Tapi ketika disuarakan, jawaban pemerintah sering tak nyambung: “globalisasi”, “geopolitik”, “cuaca ekstrem”, dan sederet alasan lain yang ujung-ujungnya menyalahkan faktor eksternal.

Padahal, rakyat tahu: kalau uang negara tidak bocor ke mana-mana, seharusnya semua bisa lebih murah. Tapi bagaimana mau murah, kalau dana subsidi terus dikorup, anggaran proyek dibengkakkan, dan sebagian besar APBN habis untuk gaji serta tunjangan pejabat?

Bukan cuma soal kemiskinan ekonomi. Ini kemiskinan kebijakan. Kemiskinan empati. Dan kemiskinan keberanian untuk berpihak pada yang lemah.


Pemimpin Tak Tegas, Bangsa Tak Arah

Kita butuh pemimpin, bukan penjaga kekuasaan. Kita butuh orang yang berani berkata tidak, bahkan pada orang-orang terdekatnya. Tapi yang kita lihat justru pemimpin yang bimbang, takut kehilangan dukungan politik, takut bersuara lantang, takut memutus rantai nepotisme. Yang diurus justru pencitraan, elektabilitas, dan koalisi kekuasaan.

Lantas, siapa yang urus nasib rakyat?

Pemimpin yang tidak tegas hanya melahirkan pejabat yang tidak takut melanggar. Pejabat yang tak takut melanggar hanya menciptakan sistem yang tak bisa dipercaya. Dan rakyat yang tak percaya sistem akan memilih diam… atau meledak.


Kemarahan Itu Wajar, Tapi Jangan Lupa Bertindak

Banyak yang mulai muak, dan itu wajar. Tapi kemarahan saja tidak cukup. Kita perlu menyuarakan keresahan ini terus-menerus. Kita perlu menjaga ruang publik dari mereka yang ingin membungkam. Kita perlu mendidik generasi berikutnya agar tak masuk dalam lingkaran hitam kekuasaan yang kotor.

Jika tidak, kita akan terus hidup dalam siklus yang sama: lima tahun sekali memilih pemimpin dengan harapan, lalu lima tahun ke depan kecewa berkepanjangan.


Penutup: Negeri Ini Masih Bisa Diselamatkan

Indonesia bukan negara gagal. Tapi kita punya pemimpin yang gagal. Gagal melihat penderitaan rakyat. Gagal membersihkan aparat. Gagal menjaga amanat.

Tapi belum terlambat. Selama rakyat masih bersuara, selama masih ada harapan yang menyala, perubahan itu mungkin.

Bukan lewat revolusi berdarah, tapi lewat keberanian kolektif untuk menolak disuap janji manis, menolak diam saat ketidakadilan terjadi, dan menolak tunduk pada kekuasaan yang menindas.

Indonesia terlalu besar untuk diserahkan pada para koruptor. Terlalu indah untuk dihancurkan oleh para pengecut di balik meja kekuasaan.

Saatnya rakyat bersatu. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?



Ditulis oleh: Mas Moobil
(Mobil boleh mogok, tapi suara rakyat harus terus melaju)




Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google www.tahukahkamu.wiki  dan Channel Telegram 

Posting Komentar

0 Komentar

Entri yang Diunggulkan