Sila yang Tertinggal di Ujung Tiang Bendera



Pancasila adalah dasar negara, fondasi ideologis yang menjadi jantung kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Lima silanya ibarat pilar-pilar utama yang menopang sebuah rumah besar bernama Indonesia. Namun, dari kelima sila itu, ada satu yang semakin hari semakin terasa asing, nyaris hilang dari praktik kehidupan sehari-hari—Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Apa arti keadilan sosial di negeri yang kekayaannya luar biasa, tapi ketimpangannya menyayat hati? Apa makna "bagi seluruh rakyat Indonesia" ketika hanya sebagian kecil yang merasakan hasil kemerdekaan, sementara mayoritas masih berkubang dalam kemiskinan struktural dan ketidaksetaraan?


Makna Suci yang Terkubur dalam Statistik

Sila kelima bukan sekadar kalimat formal yang dihafal di sekolah-sekolah dasar. Ia adalah janji negara, kontrak moral antara pemerintah dan rakyat bahwa setiap anak bangsa berhak mendapat bagian yang adil dari hasil pembangunan, kemajuan ekonomi, dan perlindungan hukum.

Namun data bicara lain. Kesenjangan ekonomi di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara. Laporan Oxfam menyebut bahwa 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan gabungan 100 juta rakyat termiskin. Ini bukan sekadar angka; ini adalah pengkhianatan terhadap sila kelima.


Ketidakadilan yang Sistemik

Ketidakadilan di Indonesia bukan hanya soal ekonomi. Ia menjelma dalam berbagai bentuk:

  • Keadilan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Para koruptor kelas kakap bisa tertawa di pengadilan dan tidur di sel mewah, sementara rakyat kecil mencuri sendal atau makanan dibui tanpa ampun.
  • Distribusi pendidikan dan kesehatan yang timpang. Anak-anak di kota besar memiliki akses sekolah dan rumah sakit yang layak, sementara di pelosok negeri, guru honorer digaji di bawah UMR dan fasilitas kesehatan minim.
  • Peluang kerja dan mobilitas sosial yang tersumbat. Di banyak tempat, kemampuan dan kerja keras dikalahkan oleh koneksi, uang, dan garis keturunan.

Sila kelima tidak sedang dijalankan—ia sedang ditinggalkan.


Keadilan Sosial dalam Bayang-Bayang Oligarki

Di balik jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, ada kenyataan pahit: Indonesia kian dikuasai oleh oligarki, sekelompok kecil elite ekonomi dan politik yang menentukan arah kebijakan negara sesuai kepentingannya. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak, banyak kebijakan justru menguntungkan kelompok tertentu.

Sumber daya alam dikeruk habis-habisan, tanah rakyat digusur atas nama investasi, dan undang-undang disusun bukan untuk melindungi rakyat, tapi untuk mempermudah ekspansi para pemodal besar. Rakyat hanya menjadi penonton dalam negaranya sendiri—terpinggirkan di tanah yang mereka perjuangkan.


Pancasila Sebagai Retorika, Bukan Realita

Setiap tahun, tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Pidato-pidato dikumandangkan, upacara-upacara digelar. Tapi di luar seremoni itu, nilai-nilai Pancasila terutama sila kelima tak lagi hidup. Ia dijadikan tameng oleh penguasa, bukan pedoman yang sungguh-sungguh dijalankan.

Pancasila telah direduksi menjadi simbol formalistik yang kehilangan daya transformasinya. Ia tidak lagi menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan, tapi hanya menjadi penghias teks konstitusi dan baliho politik.


Apakah Keadilan Sosial Masih Mungkin?

Pertanyaannya kini: Apakah kita masih bisa berharap pada keadilan sosial? Ataukah sila kelima sudah sepenuhnya mati?

Jawabannya belum tentu gelap. Masih ada harapan, namun syaratnya jelas: perubahan radikal dalam cara berpikir, cara memimpin, dan cara mengelola negara. Pendidikan politik harus dibangkitkan, partisipasi rakyat harus diperkuat, dan elite yang korup harus dilawan.

Keadilan sosial bukan hadiah dari atas, tapi hasil perjuangan dari bawah. Sila kelima hanya akan hidup jika rakyat menuntutnya, memperjuangkannya, dan menolak diam terhadap ketidakadilan.


Penutup: Kembalikan Makna Keadilan

Jika Indonesia ingin tetap disebut negara Pancasila, maka keadilan sosial tidak boleh hanya menjadi slogan. Ia harus tampak dalam anggaran negara yang berpihak pada rakyat kecil, dalam kebijakan yang adil, dalam akses yang setara untuk semua, dan dalam penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

Sila kelima tidak boleh hilang. Karena jika keadilan sosial lenyap, maka Pancasila kehilangan maknanya, dan kemerdekaan hanya menjadi perayaan tahunan tanpa isi.

Kini saatnya kita bertanya bukan hanya "Apakah kita merdeka?", tapi juga:
"Apakah kita adil?"
Dan jika belum, maka tugas kita belum selesai.



Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google www.tahukahkamu.wiki  dan Channel Telegram 

Posting Komentar

0 Komentar

Entri yang Diunggulkan