Kepercayaan adalah fondasi utama dalam hubungan antara rakyat dan pemerintah. Dalam negara demokrasi, legitimasi kekuasaan tidak hanya berasal dari pemilu, tetapi juga dari keyakinan rakyat bahwa negara hadir untuk melindungi dan melayani. Sayangnya, di Indonesia hari ini, fondasi itu mulai retak. Kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang mengalami krisis serius.
Bertahun-tahun Janji, Minim Bukti
Dari rezim ke rezim, rakyat Indonesia dijejali janji: pengentasan kemiskinan, pendidikan gratis, layanan kesehatan yang adil, pemerintahan yang bersih. Namun tahun berganti tahun, kenyataan jauh dari harapan. Jalan berlubang masih jadi pemandangan biasa, layanan publik lamban dan birokratis, dan korupsi terus membusuk dari pucuk ke akar.
Krisis ini bukan hanya soal performa, tapi soal rasa dikhianati. Masyarakat merasa diabaikan, dibohongi, bahkan dimanfaatkan, terutama saat pemilu tiba. Setelah suara diberikan, rakyat dilupakan.
Korupsi: Luka Terbuka yang Tak Pernah Sembuh
Korupsi menjadi momok utama yang merusak kepercayaan publik. Rakyat menyaksikan betapa pejabat publik menyalahgunakan wewenang, memperkaya diri, dan hidup dalam kemewahan, sementara rakyat kecil harus bekerja keras hanya untuk bertahan hidup.
Ironisnya, banyak kasus korupsi berakhir dengan hukuman ringan. Ada yang divonis rendah, ada yang mendapat fasilitas mewah di penjara, bahkan tak jarang yang kembali ke jabatan publik. Pesan yang diterima masyarakat sangat jelas: hukum tidak adil, dan kepercayaan kepada sistem hukum pun runtuh.
Kebijakan Tak Memihak Rakyat
Di tengah ketimpangan sosial yang makin melebar, pemerintah justru kerap mengesahkan kebijakan yang dipandang menguntungkan elite atau korporasi besar. Misalnya, pengesahan UU Cipta Kerja yang menuai penolakan luas dari buruh dan mahasiswa, atau proyek-proyek mercusuar yang diprioritaskan di tengah kebutuhan dasar rakyat yang terabaikan.
Rakyat pun bertanya-tanya: Siapa sebenarnya yang sedang dilayani oleh negara ini? Pemerintah yang seharusnya hadir sebagai pelindung justru tampak berpihak pada kepentingan tertentu.
Ketimpangan Informasi dan Represi Kritik
Di era digital, suara rakyat mudah terdengar—namun juga mudah dibungkam. Aktivis dikriminalisasi, jurnalis diintimidasi, dan kritik sering disamakan dengan ujaran kebencian. Ini bukan hanya mengekang kebebasan berpendapat, tapi juga memperkuat kesan bahwa pemerintah lebih sibuk menjaga citra daripada memperbaiki realita.
Akibatnya, rakyat menjadi apatis. Mereka tak percaya pada janji, tak peduli pada pemilu, dan memilih menjauh dari urusan kenegaraan karena merasa suara mereka tak lagi berarti.
Dampak: Demokrasi yang Hampa
Hilangnya kepercayaan publik bukan persoalan sepele. Ini adalah bom waktu. Demokrasi tanpa kepercayaan adalah demokrasi yang rapuh. Pemilu bisa tetap digelar, partai bisa tetap bersaing, tapi jika rakyat tak lagi percaya, maka legitimasi pemerintahan tinggal formalitas belaka.
Negara bisa berjalan secara administratif, namun secara moral kehilangan arah. Munculnya gerakan-gerakan alternatif di luar sistem, keengganan masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, dan tumbuhnya pesimisme kolektif adalah gejala yang tak bisa diabaikan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kepercayaan yang hancur tidak bisa dibangun kembali dengan iklan atau jargon. Ia harus dipulihkan dengan kejujuran, transparansi, dan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Pemerintah perlu:
- Menunjukkan keberanian untuk menindak korupsi tanpa pandang bulu,
- Membuka ruang kritik tanpa intimidasi,
- Mengambil kebijakan yang benar-benar berbasis kebutuhan rakyat kecil,
- Serta mengembalikan moralitas dalam kepemimpinan.
Suara Rakyat, Cermin Negara
Pemerintah mungkin masih memegang kekuasaan, tapi tanpa kepercayaan rakyat, kekuasaan itu kosong. Negara bukan hanya soal sistem dan struktur, tapi juga rasa: rasa percaya bahwa mereka yang duduk di atas, benar-benar bekerja untuk mereka yang ada di bawah.
Selama itu belum pulih, Indonesia akan terus berjalan pincang. Merdeka secara hukum, tapi tidak merdeka secara kepercayaan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun
Google www.tahukahkamu.wiki dan Channel Telegram
0 Komentar