Di tengah samudra luas, jauh di barat Pulau Sumatra, terbentang sebuah pulau yang hijau dan penuh misteri. Orang-orang menyebutnya Tanö Niha, tanah manusia. Di sanalah hidup Ono Niha, anak-anak manusia yang konon berasal dari awal mula dunia.
Awal Kehidupan – Pohon Kehidupan di Gomo
Alkisah, pada masa yang tak terhitung dalam hitungan tahun, di sebuah lembah yang subur di wilayah Gomo, berdirilah pohon raksasa. Pohon ini bukan sembarang pohon — batangnya setebal bukit, cabangnya menjulang menembus awan. Orang tua adat menyebutnya Pohon Kehidupan.
Dari akar pohon itu, keluarlah sepasang manusia pertama: seorang pria dan seorang wanita. Mereka adalah leluhur seluruh Ono Niha. Dari merekalah lahir anak-anak, cucu, hingga keturunan yang memenuhi Tanö Niha. Mereka membangun rumah panggung tinggi dari kayu keras, berdinding papan, atapnya dari daun rumbia.
Hidup mereka terikat oleh fondrakö, hukum adat yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan roh nenek moyang.
Masa Keemasan – Desa dan Perang Kehormatan
Seiring berjalannya waktu, Tanö Niha terbagi menjadi banyak banua (desa adat). Tiap banua memiliki pemimpin yang disebut balugu, orang yang dihormati karena kekayaan, pesta adat besar, dan keberanian.
Namun, kemakmuran sering memunculkan perselisihan. Banua mulai saling menantang dalam perang kehormatan. Pertempuran bukan hanya soal tanah, tetapi juga tentang menjaga nama baik dan martabat.
Di masa ini lahirlah tradisi fahombo batu atau lompat batu. Para pemuda harus melompati tumpukan batu setinggi lebih dari dua meter sebagai syarat menjadi prajurit. Hanya mereka yang berhasil yang dianggap pantas memegang tombak dan melindungi desa.
Kedatangan Orang Asing – Laut Membawa Perubahan
Suatu hari, perahu besar berlayar mendekati pesisir Nias. Layarnya putih, badannya kayu, dan awaknya berbicara bahasa asing. Mereka adalah pedagang dari jauh — Portugis, Belanda, hingga Inggris — yang terpesona oleh gading, emas, dan tenaga manusia Nias.
Namun, perdagangan itu membawa luka. Banyak Ono Niha ditawan dan dibawa ke negeri jauh sebagai budak. Tanö Niha kehilangan banyak anak mudanya, dan desa-desa mulai melemah.
Cahaya dari Negeri Jauh – Misionaris Datang
Pada abad ke-19, badai sejarah membawa tamu baru ke Nias. Mereka bukan pedagang, melainkan orang-orang dengan kitab di tangan. Misionaris Jerman dari Rheinische Missiongesellschaft datang, mempelajari bahasa Nias, dan membawa pesan damai.
Mereka mengajarkan membaca, menulis, dan memperkenalkan agama Kristen. Perlahan, perang antar-desa mereda, dan Tanö Niha mulai mengenal dunia di luar pulau.
Tanö Niha Hari Ini – Menjaga Warisan
Kini, Ono Niha telah menyebar ke berbagai penjuru dunia, namun hati mereka tetap tertambat di Tanö Niha. Desa-desa adat seperti Bawömataluo berdiri megah, batu-batu megalit masih tegak menyimpan kisah masa lalu, dan para pemuda masih melompati batu, bukan untuk perang, melainkan untuk menjaga warisan leluhur.
Bagi orang Nias, tanah mereka bukan sekadar pulau. Ia adalah ibu yang melahirkan, rumah yang membesarkan, dan warisan yang harus dijaga.
Dan selama ombak masih memukul pantai, cerita ini akan terus diceritakan — bahwa mereka adalah Ono Niha, anak-anak manusia dari Tanö Niha, pewaris pohon kehidupan di Gomo.
0 Komentar